Teladan Kebaikan Dari Para Keluarga Salaf

th1Berbicara tentang kisah keteladanan para ulama Salaf dalam ketekunan beribadah, ketaatan dan sifat zuhud, tentu merupakan pembicaraan yang tidak asing bahkan sangat dikenal di kalangan kaum muslimin.

Akan tetapi, tahukah kita bahwa kisah keteladanan dari anggota keluarga mereka juga tidak kalah menariknya dan sangat patut untuk kita baca serta renungkan?

Sebagai bukti bahwa para ulama Salaf tidak hanya memperhatikan dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka sendiri saja, tapi mereka juga sangat memperhatikan pengajaran dan bimbingan kebaikan bagi anggota keluarga mereka.

Mereka benar-benar memahami dan mengamalkan firman Allah :

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib, ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[1].

Juga hadits-hadits Rasulullah, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda: “Ada tiga orang yang akan mendapatkan dua pahala: … dan seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan, lalu dia mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan mengajarkan (ilmu agama) kepadanya dengan pengajaran yang baik, kemudian dia memerdekakannya dan menikahinya, maka dia kan mendapatkan dua pahala[2].

Kalau keutamaan ini didapatkan dengan mengajarkan dan memberikan bimbingan kebaikan kepada seorang budak, maka tentu saja mengusahakan ini kepada anggota keluarga, anak dan istri, akan mendatangkan keutamaan yang lebih besar lagi[3].

Dalam tulisan ini, kami akan membawakan beberapa kisah keteladanan para keluarga Salaf dalam memahami dan mengamalkan agama ini, semoga bisa menjadi motivasi kebaikan bagi anggota keluarga muslim dalam meniti jalan hidup menuju keridhaan Allah .

Semoga Allah merahmati Imam Abu Hanifah yang pernah berkata: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai daripada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)”[4].

Keteladanan keluarga Salaf dalam berkorban di jalan Allah dan membela kebenaran

Imam adz-Dzahabi menukil kisah tentang Imam ‘Ashim bin ‘Ali al-Wasithy[5], di jaman fitnah khalqul Qur’an[6], ketika itu Imam Ahmad bin Hambal ditangkap dan disiksa oleh penguasa karena beliau mempertahankan aqidah Ahlus sunnah, bahwa al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk. Maka ‘Ashim bin ‘Ali al-Washithy berkata di hadapan para ulama Ahlus sunnah lainnya: “Adakah seorang yang mau berdiri bersamaku untuk bersama-sama kita datangi orang ini (khalifah al-Ma’mun) dan menasehatinya (agar meninggalkan perbuatan buruk tersebut)?”. Ketika itu, tidak ada seorangpun yang memenuhi ajakannya, lalu kemudian Ibrahim bin Abi al-Laits berkata: “Wahai Abul Hasan (‘Ashim bin ‘Ali), aku pulang dulu menemui anak-anakku untuk memberi wasiat kepada mereka (sebelum pergi bersamamu)”. Lalu kemudian Ibrahim bin Abi al-Laits datang dan berkata (kepada kami): “Aku pulang menemui anak-anakku dan mereka menangis (karena takut aku akan disiksa atau dibunuh)”. Pada waktu itu, datang sepucuk surat dari dua putri Imam ‘Ashim bin ‘Ali dari kota Wasith (yang isinya): “Wahai ayah kami, sungguh telah sampai kepada kami (berita) bahwa orang ini (khalifah al-Ma’mun) telah menangkap dan memukul (menyiksa) Imam Ahmad bin Hambal supaya mau mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Maka (wahai ayah kami), bertakwalah kepada Allah dan janganlah mengikuti khalifah itu (dalam pendapatnya yang sesat itu). Demi Allah, sungguh jika datang kepada kami berita tentang kematianmu, ini lebih kami sukai daripada berita bahwa engkau mengikutinya (dalam pendapatnya yang sesat itu)”[7].

Lihatlah teladan agung dalam berkorban di jalan Allah dan membela aqidah Ahlus sunnah dalam kisah di atas!

Para keluarga Salaf telah terdidik untuk mengagungkan dan mengutamakan kebenaran, apalagi yang berhubungan dengan iman dan keyakinan tentang kemahasempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allah , bahkan mereka meyakini ini semua lebih berharga daripada apapun yang paling mereka cintai di dunia ini, termasuk harta benda maupun anggota keluarga yang terdekat. Mereka benar-benar memahami makna al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci karena Allah ) yang Allah nyatakan dalam firman-Nya:

{لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan Dia menempatkan mereka di dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung” (QS al-Mujaadilah: 22).

Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini berkata: “…Seorang hamba tidak akan menjadi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dengan (keimanan) yang sebenarnya kecuali setelah dia mengamalkan kandungan dan konsekuensi imannya, yaitu mencintai dan berloyalitas kepada orang-orang yang beriman (kepada Allah), serta membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak beriman, meskipun mereka orang yang terdekat hubungannya dengannya”[8].

Keteladanan keluarga Salaf dalam menjauhi sifat rakus terhadap harta meskipun dalam keadaan miskin dan kekurangan

Imam Ibnul Jauzi menukil kisah dari jaman para Salaf, tentang seorang lelaki dari Bagdad yang bernama ‘Abdullah, dia akan melakukan ibadah haji dan membawa titipan uang sepuluh ribu dirham dari pamannya yang berpesan kepadanya: “Jika kamu telah sampai di kota Madinah, maka carilah keluarga yang paling miskin di sana, lalu berikanlah uang ini kepada mereka (sebagai sedekah)”. Abdullah berkata: Ketika aku telah sampai di Madinah, maka aku bertanya (kepada orang lain) tentang keluarga yang paling miskin di Madinah. Lalu aku ditunjukkan sebuah rumah, maka (akupun mendatanginya), kemudian aku mengetuk pintu dan seorang perempuan (dari dalam rumah) menjawab ketukanku. Dia berkata: “Siapakah anda”, maka aku menjawab: “Aku seorang yang datang dari Bagdad, aku dititipkan (uang sebesar) sepuluh ribu dirham dan aku dipesan untuk menyerahkannya (sebagai sedekah) kepada keluarga yang paling miskin di Madinah, dan orang-orang telah menceritakan keadaan kalian kepadaku, maka ambillah uang ini!”. Perempuan itu menjawab: “Wahai ‘Abdullah, orang yang menitipkan uang itu kepadamu mensyaratkan keluarga yang paling miskin (di Madinah yang berhak menerimanya), dan keluarga yang (tinggal) di depan (rumah) kami lebih miskin daripada kami, (berikanlah uang itu pada mereka)!”. Akupun meninggalkan rumah itu dan mendatangi rumah keluarga di depannya, lalu aku mengetuk pintu dan seorang perempuan (dari dalam rumah) menjawab ketukanku. Kemudian aku katakan padanya seperti yang aku katakan kepada perempuan yang pertama. Maka perempuan itu menjawab: “Wahai ‘Abdullah, kami dan tetangga kami itu sama-sama miskin, maka bagilah uang itu untuk kami dan mereka”[9].

Renungkanlah kisah di atas! Mereka benar-benar menjaga diri dari sifat rakus dan tamak terhadap harta, yang mana sifat inilah menjadikan seorang manusia selalu berambisi mengumpulkannya meskipun dengan cara yang tidak halal dan mengambil yang bukan haknya.

Mereka benar-benar memahami sabda Rasulullah : “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalianpun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka[10].

Arti sabda beliau “…sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian”, yaitu: dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya dan kesibukan dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allah dan balasan di akhirat[11].

Kemudian, akhlak mulia yang mereka miliki ini juga melahirkan sifat mulia lainnya, yaitu al-iitsaar (mendahulukan saudara sesama muslim) dan rela berbagi bersamanya, meskipun dalam hal yang juga dibutuhkannya.

Sifat mulia ini yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman dan dipuji oleh Allah dalam firman-Nya:

{وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ}

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-Hasyr: 9).

Keteladanan keluarga Salaf dalam meninggalkan perbuatan maksiat sejak usia dini

Imam Abu Bakar al-Marwazi[12] berkata: “Aku pernah datang ke rumah Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal), maka aku melihat seorang wanita (tukang sisir) sedang menyisir (rambut) anak perempuannya yang masih kecil. Setelah itu aku bertanya kepada tukang sisir tersebut: Apakah kamu menyambung rambutnya dengan qaraamil[13]? Maka tukang sisir itu berkata: Anak kecil itu menolak (dengan keras) dan berkata: Sesunguhnya ayahku melarangku (melakukan itu) dan dia akan marah (kalau aku melakukannya)[14].

Lihatlah bagaimana pengaruh positif didikan sang ayah dari anak kecil ini dalam berpegang teguh dengan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dan tentu ini tidaklah mengherankan, karena ayahnya adalah Imam besar Ahlus Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal[15].

Tentu beliau telah mengajarkan kepada putri kecilnya ini hadits riwayat ‘Aisyah bahwa Rasulullah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang meminta disambung rambutnya[16].

Keteladanan keluarga Salaf dalam menghadiri majelis ilmu dan mengunjungi orang-orang yang shaleh sejak kecil, untuk meneladani akhlak mereka.

Imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah kisah dari seorang ulama Salaf yang terkenal, Ibrahim al-Harbi[17]. Dari Muqatil bin Muhammad al-‘Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”[18].

Imam Ibrahim bin Adham[19] berkata: “(Ketika aku masih kecil) ayahku berkata kepadaku: Wahai anakku, tuntutlah ilmu hadits, setiap kali kamu mendengar sebuah hadits dan menghafalnya maka kamu dapat (uang) satu dirham”. Maka akupun menuntut ilmu hadits karena motivasi itu”[20].

Imam al-Khathib al-Bagdadi menukil kisah dari Imam al-A’masy[21], ketika beliau sedang menyampaikan hadits di hadapan anak-anak yang masih kecil, maka ada yang bertanya kepada beliau: “Kamu menyampaikan hadits di hadapan anak-anak yang masih kecil ini?”. Imam al-A’masy berkata: “Anak-anak yang masih kecil inilah yang akan menjaga agamamu”[22].

Renungkanlah kisah di atas, bagaimana para ulama Salaf membiasakan anggota keluarga mereka, sejak usia anak-anak, untuk selalu menghadiri majelis ilmu dan kajian-kajian Islam untuk kebaikan agama mereka, serta bergaul dan mengunjungi orang-orang yang shaleh dalam rangka meneladani akhlak mulia mereka. Mereka memahami bahwa jiwa manusia memiliki kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya dan selalu dekat dengannya. Sebagaimana sabda Rasulullah : “Ruh-ruh (jiwa) manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih”[23].

Inilah salah satu di antara tujuan terbesar Allah menceritakan kisah-kisah keteladanan para Nabi dalam banyak ayat al-Qur’an. Allah berfirman:

{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}

Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud: 120).

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi kebaikan bagi kita semua.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 28 Rabi’ul awwal 1436 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Artikel www.ManisnyaIman.com


[1] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh Imam al-Hakim sendiri dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.

[2] HSR al-Bukhari (1/48, no. 97).

[3] Lihat kitab “Ma’aalimu fi thariiqi thalabil ‘ilmi” (hlmn 132).

[4] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 595).

[5] Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (9/262).

[6] Fitnah dari kelompok Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan bukan firman Allah U, mereka berhasil mempengaruhi khalifah dan para penguasa di jaman tersebut, sehingga mereka menyiksa para ulama Ahlus sunnah yang tidak mau mengucapkan keyakinan sesat dan kufur tersebut.

[7] Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (9/264).

[8] Taisiirul Kariimir Rahman (hal. 623).

[9] Kitab “Shifatush shafwah” (2/206).

[10] HSR al-Bukhari (no. 2988) dan Muslim (no. 2961).

[11] Lihat catatan kaki kitab “Shahiihul Bukhari” (3/1152).

[12] Beliau adalah salah seorang murid utama Imam Ahmad bin Hambal, biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (13/173).

[13] Penyambung rambut dari benang wol, bulu rambut atau lainnya (an-Nihaayatu fi gariibil hadiitsi wal atsar 4/80).

[14] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam “Mana-qibul imaami Ahmad” (hlmn 407).

[15] Lihat kitab “Ma’aalimu fi thariiqi thalabil ‘ilmi” (hlmn 134).

[16] HSR Muslim (no. 2123).

[17] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H). Biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).

[18] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).

[19] Beliau adalah Imam besar dan panutan dari generasi Atba’ut tabi’in (wafat 162 H). Biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (7/387).

[20] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam kitab “Syarafu ashhaabil hadiits” (hlmn 66).

[21] Beliau adalah Sulaiman bin Mahran al-Kahili al-Kufi, Imam besar, penghafal hadits, ahli qira-ah dan syaikhul Islam dari generasi Tabi’in yunior (wafat 147 H). Biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (6/226).

[22] Kitab “Syarafu ashhaabil hadiits” (hlmn 64).

[23] HSR al-Bukhari (no. 3158) dan Muslim (no. 2638).

Traktir Kopi

Traktir dengan sedikit secangkir kopi untuk ikut serta membantu dakwah dengan media

Traktir Secangkir Kopi